Sabtu, 27 Juni 2009

BAB V

ASPEK POLITIK

Persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut

sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan malahan persoalan

politik. Sewaktu Nabi mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah beliau

belum dapat membentuk suatu masyarakat yang kuat lagi berdiri

sendiri. Umat Islam diwaktu itu baru dalam kedudukan lemah, tidak

sanggup menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy

yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi bersama Sahabat dan umat Islam

lainnya, seperti diketahui, terpaksa meninggalkan kota ini dan pindah

ke Yasrib, yang kemudian terkenal dengan nama Medinah, yaitu Kota

Nabi. Di kota ini keadaan Nabi dan Umat Islam mengalami perobahan

yang besar. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupak umat lemah

yang tertindas, di Medinah mereka mempunyai kedudukan yang baik

dan segera merupakan umat yang kuat d dapat berdiri sendiri. Nabi

sendiri menjadi kepala dalam masyarak yang baru dibentuk itu dan

yang akhirnya merupakan suatu nega suatu negara yang daerah

kekuasaannya diakhir zaman Nabi meliputi seluruh Semenanjung

Arabia. Dengan kata lain di Medinah Nabi Muhammad bukan lagi

hanya mempunyai sifat Rasul Allah tetapi juga mempunyai sifat Kepala

Negara.

Jadi sesudah beliau wafat, beliau mesti diganti oleh orang lain

untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Dalam kedudukan

beliau sebagai Rasul, beliau tentu tak dapat diganti. Sebagaimana

diketahui dari sejarah pengganti beliau yang pertama ialah Abu Bakr.

Abu Bakr menjadi Kepala Negara yang ada pada waktu itu dengan

memakai gelar Khalifah, yang arti lafzinya ialah Pengganti (Inggeris :

Successor). Kemudian setelah Abu Bakr wafat, Umar Ibn Al-Khattab

menggantikan beliau sebagai Khalifah yang kedua. Usman Ibn Affan

selanjutnya menjadi Khalifah yang ketiga dan pada pemerintahannyalah mulai timbul persoalan-persoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang lemah dan tak kuat

untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh

dalam masyarakat Arab pada waktu itu. la mengangkati mereka

menjadi Gubernur-gubernur di daerah-daerah yang tunduk kepada

kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar,

Khalifah yang dikenal sebagai orang kuat dan tidak memikirkan

kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya dijatuhkan oleh

Usman. Politik nepotisme ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi kedudukan Usman sebagai Khalifah. Sahabatsahabat

Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, akhirnya

berpaling. Orang-orang yang ingin menjadi Khalifah atau orang-orang

yang ingin calonnya menjadi Khalifah mulai pula menangguk di air

keruh yang timbul itu. Di daerah-daerah timbul perasaan tidak senang.

Di Mesir Amr Ibn Al-Aas dijatuhkan sebagai Gubernur dan diganti

dengan Ibn Abi Sarh, salah seorang dari anggauta keluarga Usman.

Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus pemberontak bergerak

dari Mesir merruju Medinah. Perkembangan suasana di Medinah

selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemukapemuka

pemberontak dari Mesir itu.

Setelah Usman wafat, Ali Ibn Abi Talib, sebagai calon terkuat,

menjadi Khalifah yang ke-empat. Tetapi segera ia mendapat tantangan

dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah, terutama

Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah.

Dalam peperangan yang terjadi Talhah dan Zubeir mati terbunuh,

sedang Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.

Tantangan kedua datang dari Mu'awiah, gubernur Damaskus dan

anggauta keluarga yang terdekat dengan Usman Ibn Affan: Mu'awiah

juga tidak mengakui Ali sebagai Khalifah bahkan ia menuduh Ali turut

campur tangan dalam soal pembunuhan Usman, karena salah satu dari

pemuka pemberontak, Muhammad, adalal anak angkat Ali. Antara

kedua golongan akhirnya terjadi peperangan di Siffin, Irak. Tentara Ali

dapat mendesak tentara Mu'awiah sehingga yang tersebut akhir ini telah

bersedia untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu'awiah, Amr Ibn Al-Aas,

yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan

mengangkatkan Al-Qur-an ke atas. Imam-Imam yang ada dipihak Ali

mendesak Ali supaya menerima tawarar itu dan dengan demikian

dicarilah perdamaaan dengan mengadakan hakam yaitu arbitrase.

Sebagai pengantara diangkat dua orang : Amr Ibn Al-Aas dari pihak

Mu'awiah dan Abu Musa Al-Asy'aru.dari pihak Ali.

Dalam pertemuan mereka berdua, kelicikan Amr mengalahkan

perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa antara keduanya

terdapat permufakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu'awiah Dan

tradisi menyebut bahwa Abu Musa sebagai yang tertua, berbicara lebih

dahulu dan mengumumkan kepada orang ramai putusar menjatuhkan

kedua pemuka yang bertentangan itu. Tetapi Amr, yang berbicara

kemudian mengumumkan hanya menyetujui untuk menjatuhkan Ali

sebagai telah dijelaskan Abu Musa dan menolak untuk menjatuhkan

Mu'awiah. Peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi

Mu'awiah. Mu'awiah yang pada mulanya hanya berkedudukan

Gubernur kini telah naik derajatnya menjadi Khalifah yang tidak resmi.

Tidak mengherankan kalau putusan ini tidak diterima Ali dan tak mau

meletakkan jabatan sehingga ia mati terbunuh di tahun 661 M. Tetapi ia

tidak dapat lagi melawan Mu'awiah, bukan hanya karena telah mempunyai saingan dalam kedudukannya sebagai Khalifah, tetapi juga

karena kekuatan militernya telah pula menjadi lemah.

Keadaan Ali menerima tipu muslihat Amr mengadakan arbitrase

sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian dari

tentaranya. Tentara ini mengasingkan diri dan ke luar dari barisan Ali.

Mereka terkanal dalam sejarah dengan nama Khawarij, itu orang-orang

yang keluar. Mereka mengatur barisan mereka dan selanjutnya

menentang Ali. Antara Ali dan mereka terjadi peperangan. Dalam

peperangan itu kaum Khawarij kalah, tetapi tentara Ali telah terlalu

lemah untuk dapat meneruskan peperangan melawan Mu'awiah.

Mu'awiah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah ifatnya Ali ia dengan

mudah dapat memperkuat kedudukannya bagai Khalifah di tahun 4661

M.

Dari sejarah ringkas di atas dapat dilihat bahwa pada waktu itu

telah timbul-tiga golongan politik, golongan Ali yang kemudian dikenal

dengan nama Syi’ah, golongan yang keIuar dari barisan Ali yaitu.

Kaum Khawarij dan golongan Mu’awiyah, yang kemudian membentuk

Dinasti Bani Ummayah dan membawa sistem kerajaan dalam Islam.

Perlu dijelaskan bahwa khalifah (pemerintahan); yang timbul

sesudah wafatnya Nabi Muhammad, tidak mempunyai bentuk kerajaan;

tetapi lebih dekat merupakan republic, dalam arti, Kepala negara dipilih

dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Sebagai diketahui Khalifah

pertama adalah Abu Bakar dan beliau tidak mempunyai hubungan

darah dengan Nabi Muhammad. Khalifah kedua, Umar ibn Al-Khattab,

juga tidak mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar, demikian

pula Khalifah ketiga Usman Ibn Affan dan halifah keempat Ali Ibn

Talib, satu sama lain tidak mempunyai ubungan darah. Mereka adalah

sahabat Nabi dan dengan demikian hubungan mereka sesama mereka

merupakan hubungan persahabatan.

Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah bukan atas tunjukan Nabi

Muhammad, karena beliau wafat dengan tidak meninggalkan perintah

ataupun pesan tentang pengganti beliau sebagai Kepala negara. Abu

Bakar diangkat atas dasar permufakatan pemuka-pemuka Ansar dan

Muhajirin dalam rapat Saqifah di Medinah. Pengangkatan itu kemudian

mendapat persetujuan dan pengakuan mat, yang dalam istilah Arabnya

disebut bay'ah ( ).

Umar menjadi Khalifah kedua atas pencalonan Abu Bakar yang

segera juga mendapat persetujuan umat. Penentuan Usman sebagai

pengganti Umar dirundingkan dalam rapat Enam Sahabat. Usman juga

segera mendapat bay'ah dari umat. Setelah Usman mati terbunuh, Alilah

merupakan calon terkuat untuk menjadi Khalifah keempat. Tetapi

bay’ah yang diterima Ali tidak lagi sebulat bay'ah yang diberikan umat

kepada khalifah-khalifah sebelumnya. Khalifah Ali, sebagai dilihat di

atas, mendapat tantangan dari Mu'awiah di Damaskus dan dari Talhah,

Zubeir dan Aisyah di Mekkah. Demikianlah ungkapan sejarah tentang pengangkatan sahabatsahabat

Nabi Muhammad itu menjadi Khalifah. Jelas bahwa cara

pengangkatan Kepala Negara sebagai yang diungkapkan sejarah ini,

bukanlah cara yang dipakai dalam sistem kerajaan. Cara itu lebih sesuai

untuk dimasukkan ke dalam sistem pengangkatan Kepala Negara dalam

pemerintahan demokrasi.

Dalam pada itu perlu ditegaskan bahwa menurut pendapat umum

yang ada dizaman itu, seorang Khalifah haruslah berasal dari suku

Quraisy. Pendapat ini didasarkan atas hadis yang membuat Quraisy

mempunyai kedudukan lebih tinggi dari suku-suku Arab lainnya dan

terutama hadis : Imam-imam adalah dari Quraisy ( ).

Keempat Khalifah Besar memang orangorang ternama dari suku

Quraisy dan demikian juga dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani

Abbas, semuanya berasal dari suku Nabi Muha.mmad itu. Pendapat ini

kemudian menjadi teori ketatanegaraan yang dianut oleh Ahli Sunnah.

Kaum Khawarij tidak setuju dengan faham di atas. Menurut

pendapat mereka khilafah (jabatan Kepala Negara) bukanlah hak

monopoli dari suku Quraisy. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara

Quraisy dan suku-suku Arab lainnya, bahkan juga tidak antara Arab

dan bukan Arab. Oleh karena itu dalam teori politik mereka; tiap orang

Islam sekalipun ia bukan orang Arab, boleh menjadi Khalifah, asal saja

ia mempunyai kesanggupan untuk itu.

Dan berlawanan dengan faham yang dibawa oleh Mu'awiah,

khalifah bagi kaum Khawarij tidak mempunyai sifat turun-temurun dari

bapak kepada turunannya. Dengan lain kata, mereka tidak setuju

dengan sistem kerajaan. Selanjutnya mereka berpendapat bahwa

Khalifah yang melanggar ajaran-ajaran agama wajib dijatuhkan, bahkan

dibunuh.

Sementara itu, seorang pemuka Khawarij bernama Najdah Ibn

Amr Al-Hanafi mempunyai faham bahwa Kepala Negara diperlukan

hanya jika maslahat umat menghendaki yang demikian. pada

hakekatnya, demikian Najdah, ummat tidak berhajat pada adanya

Khalifah atau Imam untuk memimpin mereka. Dalam hal ini, ia

sebenarnya dekat dengan faham komunis yang mengatakan bahwa

negara akan hilang dengan sendirinya dalam masyarakat komunis.

Kaum Khawarij dalam sejarah pecah menjadi beberapa kelompok,

tetapi perbedaan faham mereka berkisar sekitar masalahmasalah

teologi. Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam pembahasan

aspek teologi.

Tetapi bagaimanapun, teori politik mereka bersifat lebih

demokratis dari teori-teori politik yang dianut oleh golongan-golongan

politik Islam lain dizaman itu.

Kaum Syi'ah, berlainan dengan kaum Khawarij, berpendapat

bahwa jabatan Kepala Negara bukanlah hak tiap orang Islam, bahkan

pula tidak hak setiap orarag Quraisy, sebagai tersebut dalam teori yang kemudian dianut oleh Ahli Sunnah itu. Dalam faham kaum Syi'ah

imamah (jabatan Kepala Negara) adalah hak monopoli Ali Ibn Abi

Talib dan keturunannya. Perlu ditegaskan bahwa nama yang dipakai

golongan Syi'ah untuk Kepala Negara adalah Imam.

Sesuai dengan faham yang dibawa oleh Mu'awiah, imamah dalam

teori Syi'ah mempunyai bentuk kerajaan dan turun-temurun dari bapak

ke anak, seterusnya ke cucu dan demikian selanjutnya. Semestinya

yang menggantikan Nabi Muhammad sebagai Kepala Negara dalam

faham Syi'ah, adalah anak beliau. Tetapi karena beliau tak mempunyai

anak laki-laki yang hidup, jabatan itu seharusnya pergi ke anggota

keluarga beliau yang terdekat.

Ali Ibn Abi Talib, adalah anak paman beliau dan yang terpenting

lagi adalah pula menantu beliau. Oleh karena itu, Ali-lah anggota

keluarga Nabi yang terdekat. Dengan demikian, yang menggantikan

Nabi Muhammad sebagai Kepala Negara seharusnyalah Ali, dan

seterusnya anak-anak serta cucu-cucunya dan bukan Abu Bakar, Umar,

Usman, Bani Umayyah dan Bani Abbas. Oleh sebab itu khilafah Abu

Bakar, Umar dan Usman tidak diakui oleh kebanyakan kaum Syi'ah dan

demikian juga pemerintahan Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani

Abbas.

Dalam sejarah mereka memang menentang Dinasti Bani

Umayyah dan aktif bekerja sama dengan Bani Abbas dalam

menjatuhkan Kerajaan yang dibentuk Mu'awiah itu. Tetapi setelah

ternyata bahwa Bani Abbas memonopoli kekuasaan untuk mereka

sendiri dan kemudian membentuk Dinasti Bani Abbas, kaum Syi'ah

mengambil sikap melawan terhadap mereka. Perlawanan itu menjelma

dalam bentuk gerakan-gerakan seperti yang dijalankan golongan

Qaramitah, Hasysyasyin, dan sebagainya. Gerakan mereka akhirnya

mewujudkan khilafah Syi'ah di Mesir, yaitu khilafah Fatimiah (969 -

1171 M) dan kerajaan Syi'ah di Iran semenjak tahun 1502 M.

Dalam pada itu, kaum Syi'ah juga pecah ke dalam beberapa

golongan. Yang terbesar ialah golongan Syi'ah Dua belas ( ).

Mereka disebut Syi'ah Duabelas karena mereka mempunyai duabelas

Imam Nyata ( ). Imam Pertama sudah barang tentu Ali

Ibn Abi Talib sedang Imam Keduabelas adalah Muhammad Al-

Muntazar.

Pada Muhammad Al-Muntazar berhenti rangkaian Imam-imam

Nyata, karena Muhammad tidak meninggalkan keturunan. Muhammad,

sewaktu masih kecil, hilang di dalam gua yang terdapat di Mesjid

Samarra (Iraq). Menurut keyakinan kaum Syi'ah Duabelas. Imam ini

menghilang baut sementara dan akan kembali lagi sebagai Al-Mahdi

untuk langsung memimpin umat. Oleh karena itu ia disebut Imam

Bersembunyi ( ) atau Imam Dinanti,

( ). Selama bersembunyi ia memimpin umat melalui

Raja-raja yang memegang kekuasaan dan ulama-ulama mujtahid Syi'ah.

Syi'ah Duabelas menjadi faham resmi di Iran semenjak permulaan

abad ke-enambelas, yaitu setelah faham itu dibawa ke sana oleh Syi'ah

Ismail.

Di samping Syi'ah Duabelas ada pula Syi'ah Ismailiah. Imamimam

mereka sampai dengan Imam Keenam masih sama dengan -

Imam-imam Syi'ah Duabelas. Perbedaan mulai timbul pada Imam

Ketujuh.

Ismail, anak dari Ja'far Al-Sadiq, lebih dahulu meninggal dunia

dari pada Imam Keenam ini. Oleh karena itu, tempat Ismail sebagai

Imam Ketujuh diganti oleh adiknya Musa AI-Kazim. Faham inilah

yang dianut oleh Syi'ah Duabelas. Tetapi sebagian lain dari kaum

Syi'ah tidak setuju dengan pengangkatan itu dan tetap setia pada Ismail,

sungguhpun ia telah meninggal dunia. Bagi mereka Ismailla Imam

Ketujuh dan bukan Musa Al-Kazim.

Karena mengakui hanya tujuh Imam Nyata, Syi'ah Ismaili, ini

juga disebut Syi'ah Tujuh, sungguhpun pada akhirnya tidak semua

berpegang teguh pada faham ini. Khalifah-khalifah Fatimi di Mesir, golongan Qaramitah,

Hassyasyin, kaum Ismaili di India, Pakistan dan Iran, dan kaum Duruz

di Lebanon dan Syiria termasuk dalam golongan Syi'ah Ismailia.

Selanjutnya ada lagi Syi'ah Zaidiah, yaitu pengikut Zaid Ibn Ali

Zain Al-Abidin. Berlainan dengan Syi'ah Duabelas dan Syi’ah

Ismailiah mereka tidak menganut teori Imam Bersembunyi. Imam

harus langsung memimpin umat. Jabatan Imam harus berasal dari

keturunan Ali dan Fatimah. Demikian faham mereka.

Syi'ah Zaidiah dalam sejarah membentuk kerajaan di Yaman

dengan San'a sebagai ibu kota. Beberapa tahun yang lalu bentuk

kerajaan ini dirobah menjadi republik, setelah terjadinya revolusi di

negara itu.

Di samping ketiga golongan besar ini, masih ada golongangolongan

kecil seperti Syi'ah Saba'iah, pengikut Abdullah Ibn Saba',

Syi'ah Al-Ghurabiah, Syi'ah Kisaniah, pengikut Al-Mukhtar Ibn Ubaid

Al-Tsaqafi dan Syi'ah Al-Rafidah.

Sebelum melanjutkan uraian, ada baiknya disimpulkan dahulu

yang telah diterangkan di atas.

Teori politik yang pertama timbul dari perkembangan politik ini

terjadi dalam sejarah Islam ialah mengenai jabatan Kepala Negara. Di

zaman Nabi Muhammad jabatan itu mempunyai bentuk yang unik.

Beliau, sebagai Rasul yang diutus Tuhan, membawi ajaran-ajaran yang

bukan hanya bersangkutan dengan hidup kerohanian tetapi juga ajaranajaran

mengenai hidup keduniaan manusia. Oleh karena itu Nabi

mempunyai kedudukan, bukan hanya sebagai Kepala Agama, tetapi

juga sebagai Kepala Negara. Dengan lain kata, alam diri Nabi

terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spirituil dan kekuasaan sekuler.

Beliau menjadi Kepala Negara bukanlah atas penunjukan dan pula

bukan atas dasar hak turun-temurun. Beliau sebagai Rasul secara

otomatis menjadi Kepala Negara.

Siapa yang berhak menjadi Kepala Negara sebagai pengganti

beliau dan bagaimana cara pengangkatannya, itulah yang menimbulkan

perbedaan faham di bidang politik dalam Islam. Sebagaimana dilihat

kaum Khawarij berpendapat bahwa yang berhak untuk menjadi Kepala

Negara ialah semua orang Islam dan cara penentuan dan mengangkatan

ialah pemilihan. Syi'ah, sebaliknya, berpendapat bahwa hanya

keturunan Ali yang berhak menjadi Kepala Negara dan hak itu bersifat

turun-temurun. Ahli Sunnah berpendapat bahwa hak itu dimiliki oleh

suku Quraisy dan pengangkatannya ialah melalui pemilihan. Tetapi di

samping itu ada pula yang menyetujui penentuan melalui keturunan.

Sementara itu timbul pula perbedaan faham tentang sifat dan

kekuasaan Kepala negara. Syi'ah Duabelas dan Syi'ah Fatimiah

berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad, sebelum beliau wafat, telah

menentukan Ali sebagai penggantinya. Dalam istilah Syi'ah. Ali adalah

wasi ( ) Nabi Muhammad, yaitu pengganti yang kepadanya 8

dilimpahkan Nabi sepenuh kepercayaan. Wasi sesudah Ali adalah

Hasan, kemudian Husein dan seterusnya cucu-cucu Nabi.

Imam mempunyai sifat kekudusan yang diwarisi dari Nabi, dalam

arti Ali menerima waris itu dari Nabi, Hasan dan Husein dari Ali, Ali

Zainal Abidin dari Husein dan demikianlah seterusnya oleh cucu-cucu

beliau. Di samping itu Imam mempunyai kekuasaan untuk membuat

hukum. Perbuatan-perbuatan serta ucapan-ucapan Imam tidak bisa

bertentangan dengan syariat. Dengan demikian bagi kaum Syi'ah, Imam

hampir sama sifat dan kekuasaannya dengan sifat dan kekuasaan Nabi.

Imam dan Nabi sama-sama tak dapat berbuat salah dan sama-sama

dapat membuat hukum. Perbedaan terletak dalam keadaan Nabi

menerima wahyu sedang Imam tidak.

Faham-faham di atas sama-sama dianut oleh Syi'ah Duabelas dan

Syi'ah Ismailiah. Tetapi di antara golongan Ismailiah ada yang

membawa faham-faham itu bersifat ekstrim. Sehubungan dengan

kesucian Imam dari perbuatan salah, mereka umpamanya berpendapat

bahwa sungguhpun Imam melakukan perbuatan salah, perbuatannya itu

sebenarnya tidak salah. Dengan lain kata perbuatan yang bagi manusia

biasa merupakan perbuatan salah, bagi Imam, itu tidak merupakan

perbuatan salah. Imam mempunyai ilmu batin, dan dengan ilmu batin

itu ia mengetahui hal-hal yang tak dapat diketahui manusia biasa. Apa

yang salah dalam pandangan manusia biasa, tidak mesti salah dalam

pandangan Imam. Ada lagi yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil

tempat dalam diri Imam, dan oleh karena itu Imam disembah. Khalifah

Fatimi Al-Hakim lbn Amrillah berkeyakinan bahwa dalam dirinya

terdapat Tuhan, dan oleh karena itu memaksa rakyat supaya

menyembahnya.

Syi'ah Zaidiah, berlainan dengan Syi'ah Duabelas dan Syi'ah

Ismailiah berpendapat bahwa Imam tidaklah ditentukan Nabi orangnya,

tetapi hanya sifat-sifatnya. Tegasnya Nabi tidak mengatakan bahwa

Ali-lah yang akan menjadi Imam sesudah beliau wafat, tetapi Nabi

hanya menyebut sifat-sifat Imam yang akan menggantikan beliau. Ali

diangkat menjadi Imam, karena sifat-sifat itu terdapat dalam dirinya. Di

antara sifat-sifat yang dimaksud ialah takwa, ilmu, kemurahan hati dan

keberanian dan untuk Imam sesudah Ali ditambahkan sifat keturunan

Fatimah.

Sifat-sifat tersebut adalah sifat bagi Imam terbaik ( ),

Tetapi dalam pada itu pemuka yang tidak mencapai sifat terbaik boleh

juga menjadi Imam. Kalau yang pertama disebut Imam afdal yang

kedua disebut Imam mafdul ( ). Oleh karena itu Syi'ah

Zaidiah dapat mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman.

Mereka diakui sebagai Imam-Imam mafdul dan bukan Imam-imam

afdal.

Di samping yang tersebut di atas ada lagi faham-faham yang

iajukan oleh Syi'ah ekstrim ( ) tentang sifat Ali. Al Saba'iah menganggap Ali Tuhan dan tidak mati terbunuh, tetapi naik ke langit.

Al-Ghurabiah mengatakan bahwa wahyu sebenarnya urunkan untuk

Ali, tetapi Jibril salah dalam rnenganggap Mu.nmad adalah Ali. A1-

Nusairiah juga berpendapat bahwa Ali adalah Tuhan, atau sekurangkurangnya

dekat menyerupai Tuhan. Golongan Syi'ah ekstrim serupa

ini tidak diakui oleh golongan Syi'ah lainnya.

Ahli Sunnah tidak menerima faham-faham tersebut di atas. Bagi

mereka Ali dan keturunannya adalah manusia biasa, sama dengan ABu

Bakar, Umar, Usman dan lain-lain. Oleh karena itu Jabatan Kepala

Negara dalam teori mereka tidak dikhususkan untuk Ali dan

keturunannya dan kalaupun dikhususkan hanya untuk suku Quraisy.

Sementara itu Ahli Sunnah membahas soal khalifah dari aspekaspek

lain. Pembahasan serupa itu dijumpai dalam buku-buku ilmu

kalam atau buku-buku yang khusus membahas soal ketatagaraan dalam

Islam, seperti, Al-Ahkam Al-Sultaniah, karangan Al-Mawardi.

Menurut Al-Mawardi syarat-syarat yang diperlukan untuk

menjadi Khalifah atau Imam, selain kesukuan Quraisy antara lain

adalah sifat-sifat adil, berilmu, sanggup mengadakan ijtihad, sehat

mental dan fisik, berani dan tegas. Imam dipilih oleh orang-orang yang

berhak untuk memilih ( ). Sifat-sifat yang diperlukan

untuk menjadi pemilih adalah adil, mengetahui syarat-syarat yang

diperlukan untuk menjadi Khalifah, dan kesanggupan untuk

menentukan dengan bijaksana siapa yang berhak untuk menjadi Kalifah

di antara calon-calan yang ada. Pemilih-pemilih itu disebut ahl al hal

waal aqad ( ) yaitu orang-orang yang dapat

menentukan. Dengan mendapat bay'ah (pengakuan). Khalifah

sebenarnya telah mengikat janji (kontrak) dengan umat. Dari pihak nya

perjanjian itu merupakan janji yang mengandung arti bahwa ia akan

menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan tulus ikhlas, dan dari

pihak umat, itu mengandung arti bahwa mereka akan patuh pada

Khalifah. Tetapi kepatuhan umat kepadanya akan hilang kalau sifatsifat

yang membuatnya berhak menjadi Khalifah hilang pula,

umpamanya sifat keadilan hilang, atau kesehatan mental atau fisik

rusak, demikianlah seterusnya. Khalifah dapat diganti, kalau ia ditangkap

menjadi tawanan, atau kekuasaannya dirampas oleh seorang

Sultan atau Amir, dan Khalifah dengan demikian kehilangan

kemerdekaan. Adanya dua Khalifah dalam suatu Negara tidak boleh.

Demikian sebahagian dari teori-teori politik yang dimajukan oleh Al-

Mawardi.

Al-Ghazali, berlainan dengan kaum Khawarij, berpendapat,

bahwa Khalifah tidak dapat dijatuhkan, walaupun Khalifah yang zalim.

Menggulingkan Khalifah yang zalim tapi kuat, akan membawa

kekacauan dan pembunuhan dalam masyarakat. Al-Ghazali

mementingkan ketertiban dalam masyarakat. Khalifah dapat

menyerahkan kekuasaan untuk memerintah kepada Sultan yang

berkuasa. Dalam sejarah Dinasti Bani Abbas memang terdapat Sultan sultan yang berkuasa di samping Khalifah-khalifah yang lemah.

Sebagai dilihat di atas, tidak jarang bahwa Khalifah hanya merupakan

boneka dalam tangan Sultan.

Ibn Jama'a sama dengan Al-Ghazali, lebih mengutamakan

ketertiban dalam masyarakat daripada pemerintahan yang zalim. Patuh

kepada kekuasaan adalah kewajiban yang diharuskan agama. Penentuan

pengganti oleh seorang Khalifah, dalam pendapat Ibn Jama'a,

merupakan salah satu bentuk pemilihan.

Selain dari kaum teolog, kaum filosof Islam juga membahas soal

politik dalam Islam. Al-Farabi umpamanya, meninggalkan buku

bernama AI-Madinah AI-Fadilah ( ) Negara

Terbaik. Di dalamnya ia menguraikan bahwa negara terbaik ialah

negara yang dikepalai seorang Rasul. Tetapi karena zaman Rasul-rasul

telah selesai, maka negara terbaik kelas dua ialah negara yang dikepalai

oleh seorang filosof. Dalam pemikiran politiknya, Al-Farabi banyak

dipengaruhi oleh filosof Yunani, Plato.

Ibnu Sina juga berpendapat bahwa negara terbaik adalah negara

yang dipimpin Rasul dan sesudah itu negara yang dipimpin filosof,

Khalifah harus orang yang ahli dalam soal hukum (Syari'ah) memen

tingkan soal spirituil dan moral rakyat, dan mesti bersikap adil. Ia harus

membawa umat kepada kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di

akhirat.

BAB VI

LEMBAGA-LEMBAGA KEMASYARAKATAN

Islam dalam sejarah, seperti telah dilihat mengambil bentuk

negara. Sebagai Negara Islam sudah barang tentu harus mempunyai

lembaga-lembaga kemasyarakataan seperti pemerintahan; hukum,

pengadilan; polisi; pertahanan dan pendidikan.

Masyarakat Islam pada mulanya tersusun atas orang-orang Arab

saja, tetapi dengan tersiarnya Islam ke luar Arabia, orang-orang bukan

Arab masuk Islam dengan menggabungkan diri dengan salah satu suku

bangsa Arab, disebut Mawali. Kaum Mawali dalam prakteknya

mempunyai kedudukan lebih rendah dari orang Arab. Orang-orang

Arab, sebagai bangsa yang berkuasa di waktu itu, dianggap oleh

masyarakat lebih tinggi. Karena mempunyai kedudukan lebih tinggi,

agama dan kebudayaan Arab Islam dipandang lebih tinggi pula. Tidak

mengherankan kalau bangsa-bangsa yang berada di bawah kekuasaan

Islam di waktu itu banyak berusaha untuk meniru orang Arab dalam

bahasa, pakaian dan adat istiadat. Bahkan banyak pula yang

meninggalkan agama aslinya dan masuk Islam.

Kedudukan Mawali yang lebih rendah itu di Persia pada akhirnya

membawa kepada gerakan syu'ubiah, suatu gerakan yang dekat

menyerupai gerakan nasionalisme dalam arti modern. Dengan gerakan

syu'ubiah itu, orang-orang Persia ingin menonjolkan kebudayaan lama

mereka kembali dan membuatnya mempunyai kedudukan yang

sederajat dengan kebudayaan Arab dalam masyarakat Islam yang ada di

waktu itu. Sebagaimana dilihat dalam sejarah, bangsa Persia berhasil

dalam usaha mereka itu. Bahasa dan kebudayaan Persia menjadi bahasa

dan kebudayaan yang diakui dalam Islam.

Di samping orang-orang Islam, baik Arab maupun bukan Arab,

terdapat pula orang-orang bukan Islam yang memeluk agama-agama

lain, terutama agama Kristen dan Yahudi. Orang-orang ini disebut ahl

al-zimmah ( ). Mereka adalah pemeluk agama

agama lain yang memilih tetap tinggal di bawah naungan Islam dengan

membayar jizyah ( ) yang dapat diartikan pajak naungan.

Adapun daerahnya karena begitu luas dibahagi kedalam beberapa

propinsi. Di zaman Bani Umayyah dan Bani Abbas umpamanya,

terdapat propinsi-propinsi berikut : Hejaz, Suria, Irak, Persia, Mesir,

Afrika, Arabia Selatan, Armenia dan India. Andalusia (Spanyol Islam)

di zaman Bani Abbas merupakan negara Islam yang berdiri sendiri. Dizaman kejayaan Bani Usman (Kerajaan Ottoman) jumlah propinsi

bertambah banyak dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam ke benua

Eropa, antara lain : Rumelia (daerah yang terletak di Selatan Sungai

Danub), Hongaria Barat, Hongaria Timur dan sekitarnya, Anatolia,

Trebizond (daerah di Selatan Laut Hitam), Van (Armenia dan

Kurdistan), Suria, Palestina, Mesir, Hejaz, Yaman serta Aden, Al-

Jazair, Irak dan lain-lain.

Demikianlah masyarakat dan daerah yang diatur negara Islam

dimasa yang lampau.

Sebagai telah dilihat dalam Bab V, negara Islam dikepalai oleh

seorang Khalifah, baik dalam bentuk Kepala Negara yang dipilih

maupun dalam bentuk Raja yang jabatannya mempunyai sifat turuntemurun.

Dalam menjalankan tugas pemerintahan, Khalifah dibantu

oleh seorang wazir yang menjadi pembantu utama, penasehat dan

tangan kanannya. Di bawah wazir terdapat beberapa diwan

(departemen) umpamanya Diwan Al-Kharaj ( ), Departemen

Pajak Tanah, Bait Al-Mal / Departemen Keuangan, Diwan

Al-Jaisy ( ) (Departemen Pertahanan) dan lain

sebagainya. Tiap Diwan dipimpin oleh seorang kepala. Rapat para

Kepala Diwan diketuai oleh Wazir. Dengan demikian Wazir pada

hakikatnya mempunyai kedudukan Perdana Menteri.

Ada kalanya Wazir mempunyai kekuasaan penuh, yaitu diketika

seorang Khalifah kurang mementingkan soal-soal pemerintahan: Dalam

keadaan demikian Wazir dapat berbuat sekehendaknya dan dapat

menjatuhkan dan mengangkat gubernur-gubernur daerah yang

berkedudukan tinggi dan penting itu menurut kemauannya. Dalam

sejarah terdapat wazir-wazir penting dan kuat, seperti wazir-wazir

keturunan keluarga Baramikah di zaman kejayaan Bani Abbas.

Di samping Wazir terkadang terdapat pula Hajib (Kepala Rumah

Tangga Istana). Hajib yang kuat dapat mempunyai kekuasaan yang

lebih tinggi dzri kekuasaan Wazir.

Di ketika menurunnya prestise dan kekuasaan Khalifah di zaman

Bani Abbas, pembesar yang berkuasa di pemerintahan pusat bukan lagi

Wazir atau Hajib, tetapi Amir Al-Umara' (Kepala Panglima) atau

Sultan. Sebagai telah disebut, Khalifah Al-Mu'tasim mendirikan

Tentara Pengawal yang terdiri dari orang-orang Turki. Pada akhirnya

Tentara Pengawal ini begitu berkuasa di Bagdad sehingga mereka dapat

menjatuhkan dan mengangkat Khalifah sekehendak mereka. Di zaman

Khalifah AI-Muqtadir (908 - 932 M) Panglima Tentara Pengawal itu

diberi gelar baru, 'Amir Al-Umara', dan Amir AlUmara' inilah

sebenarnya yang memegang kekuasaan di pusat pemerintahan.

Setelah Bagdad jatuh ke tangan kekuasaan Dinasti Buwaihi dan

Tentara Pengawal Turki lari di tahun 945 M, kekuasaan Amir Al-

Umara' dipegang oleh Raja-raja Buwaihi. Seratus tahun kemudian kekuasaan itu dirampas oleh kaum Saljuk. Gelar Amir Al-Umara'

mereka robah menjadi Sultan dan yang berkuasa penuh di

pemerintahan pusat adalah Sultan ini.

Kepala Daerah pada mulanya diberi nama ‘Amil, dan kemudian

lebih dikenal dengan nama Amir. 'Amil lebih banyak mempunyai tugas

mengumpulkan zakat, sedangkan Amir adalah panglima. Selanjutnya

juga dipakai kata Wali dan Hakim. Di tangan Kepala Daerah-lah

terletak pemerintahan daerah dan karena komunikasi dengan ibu kota

sulit, para Kepala Daerah mempunyai kekuasaan otonom yang bukan

kecil, terlebih-lebih di daerah-daerah yang jauh dari ibu kota, yang pada

mulanya adalah Damaskus dan kemudian Bagdad. Dalam hubungan

dengan pusat pemerintahan, tugas mereka yang terpenting adalah

mengumpulkan zakat dan pajak untuk dikirimkan kepada Khalifah.

Dalam prinsipnya, Kepala Daerah diangkat atas putusan Khalifah,

tetapi dengan berkurangnya kekuasaan Khalifah dan timbulnya Dinastidinasti,

pada mulanya di daerah-daerah yang jauh, tetapi kemudian juga

di daerah-daerah yang dekat dengan Pusat, jabatan Kepala Daerah

mempunyai sifat turun-temurun. Khalifah hanya memberikan

pengakuan formil kepada mereka. Di antaranya ada yang tetap

memakai titel Amir, tetapi ada pula yang mempergunakan gelar Sultan

(seperti Dinasti Salahuddin dan Mamluk) dan Amir Al-Muslimin

(seperti Dinasti Al-Murabit) di Afrika Utara.

Keuangan negara bersumber terutama pada kharaj, pajak yang

dipungut atas tanah. Kharaj dikumpulkan oleh Kepala Daerah dan

setelah memotong perbelanjaan yang diperlukan oleh daerahnya,

sisanya dikirim ke pusat. Begitu pentingnya pajak ini sehingga di

pemerintahan pusat terdapat suatu departemen khusus untuk

mengurusnya, yaitu. Diwan Al-Kharaj. Di samping kharaj adalagi zakat

yang dibayar oleh warga negara yang beragama Islam, dan jizyah yang

dipungut dari warga negara bukan Nam. Sumbersumber keuangan

lainnya ialah dagang transit, bea import atas barang-barang yang

dimasukkan melalui pelabuhan-pelabuhan seperti Suez, Alexandria dan

Jeddah, pajak atas barang-barang mewah, pajak atas mas serta perak

dan pajak pertambangan.

Semua penghasilan itu dikumpulkan di Bait Al-Mal. Di zaman

Khalifah Harun Al-Rasyid (786 - 809 M) pendapatan negara berjumlah

500 juta dirham (mata uang perak berharga kira-kira Rp.100,-) setahun.

Bait Al-Mal terbagi dua, Bait Al-Mal Al-'Am ( ) dan Bait

Al-Mal AI-Khas ( ). Yang tersebut akhir ini dikhususkan

untuk pengeluaran-pengeluaran yang dilaksanakan Khalifah dan yang

pertama untuk pengeluaran-pengeluaran lainnya. Keduanya dikepalai

oleh satu orang. Penerimaan dan pengeluaran negara dikontrol oleh suatu departemen

khusus yang diberi nama Diwan Al-Nafaqat ( ) atau

Diwan Al-Azimmah ( ).

Hubungan antara pusat dengan daerah dan sebalikuya dilakukan

dengan pos (al-barid - ). Sistem pos ini dimulai oleh

Mu'awiah dan berkembang di masa Bani Abbas, sehingga merupakan

satu departemen yang diberi nama Diwan Al-Barid. Kepala

Departemen ini disebut Sahib Al-Barid ( ) Berlainan

dengan pos modern, Al-Barid pada umumnya mengurus korespondensi

negara dan hanya sedikit mengurus korospondensi rakyat. Markas besar

Al-Barid terdapat di Bagdad dan tiap ibu kota mempunyai pusat posnya

sendiri. Alat yang dipakai untuk pengangkutan adalah kuda, onta dan

keledai. Untuk pengiriman sutat-surat dipakai juga burung dara. Al-

Barid juga dipergunakan untuk mengangkut pasukan ke tempat yang

mereka tuju dan pejabat-pejabat yang baru diangkat ke tempat

kedudukannya.

Di Markas Besar Al-Barid di Bagdad terdapat keterangan lengkap

mengenai jaringan pos yang ada di seluruh daerah negara. Dalam

jaringan itu Bagdad dihubungkan sampai ke perbatasan Cina. Buku

keterangan itu mencakup penjelasan bukan hanya tentang stasionstasion,

tetapi juga tentang daerah-daerah yang dilalui.

Sahib Al-Barid, di samping tugas mengurus pos negara, juga

mempunyai tugas mengepalai urusan intelijen. Kepala-kepala pos

daerah menyampaikan kepadanya berita-berita rahasia - mengenai

keadaan daerah, tingkah laku Kepala Daerah dan lain sebagainya. Dari

berita-berita yang diterimanya ia membuat laporan untuk disampaikan

kepada Khalifah. Oleh karena itu nama lengkap dari Kepala

Departemen Pos ini ialah Sahib Al-Barid wa Al-Akhbar

( ) Kepala Pos dan Intelijen.

Sesuai dengan kedudukannya sebagai pengganti Nabi dalam

mengurus soal duniawi umat, Khalifah bukan hanya merupakan Kepala

Negara, tetapi juga Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Dalam

fungsinya ini ia disebut Amir A1-Mu'minin ( ). Jabatanjabatan

yang terdapat dalam Angkatan Darat ialah Amir (Jenderal),

mengepalai unit yang berjumlah sepuluh ribu orang qa'id mengepalai

seratus, khalifah mengepalai lima puluh dan 'arif memimpin sepuluh

prajurit.

Mereka terbagi dalam dua golongan besar, tentara tetap

(murtaziqah) yang mendapat gaji tetap dan tentara tidak tetap

(mutatawwi'ah) yang mendapat pembayaran hanya selama ikut

berperang. Inti tentara tetap biasanya terdiri dari Tentara Pengawal

Khalifah. Untuk pertempuran dikumpalkan puluhan ribu prajurit.

Dikhabarkan bahwa dalam pertempuran antara kekuatan Bani Umayyah yang diberikan di madrasah-madrasah ini adalah teologi, hukum Islam,

falsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam yaitu di samping tafsir,

hadis, sejarah Islam dan sebagainya. Mazhab yang diajarkan di sana

adalah mazhab Syafi'i dan aliran teologinya adalah aliran Asy'ariah.

Di antara Mahagurunya terdapat Imam Al-Haramain dan Al-

Ghazali. Imam Al-Haramain mengajar di Nisyapur (Persia) dan Al-

Ghazali mengajar di Bagdad. Dosen disebut mudarris dibantu oleh

seorang asisten, mu'id yang tugasnya ialah membantu mahasiswa yang

lemah daya tangkapnya dalam memahami kuliah yang diberikan dosen.

Di samping madrasah-madrasah AI-Nizamiah terdapat lagi

madrasah Al-Mustansirih yang didirikan Khalifah Al-Mustansir di

tahun 1234 M. Madrasah ini, di samping perpustakaan, juga

mempunyai rumah sakit.

Pendidikan tinggi dibentuk juga di lembaga-lembaga lain seperti

Bait Al-Hikmah yang didirikan Khalifah Al-Makmun di tahun 830 M

di Bagdad dan Dar Al-Hikmah yang dibangun oleh Khalifah Fatimiah

Al-Hakim di Cairo di tahun 1005 M. Di Dar Al-Hikmah diajarkan

aliran Syi'ah. Di Coruova Abd Al-Ra.hman III mendirikan Universitas

Cordova yang dikunjungi mahasiswa Islam dan Kristen, bukan Kristen

dari Spanyol saja tetapi juga dari daerah-daerah lain di Eropa. Untuk

menampung Universitas itu Mesjid Besar Cordova diperbesar. Di tahun

972 M Mesjid Al-Azhar didirikan oleh Panglima Fatimi Jawhar Al-

Saqilli di Cairo yang beberapa tahun kemudian dijadikan Universitas

oleh Khalifah Al-Aziz (975 - 996 M). Sebagai diketahui sampai

sekarang Al-Azhar masih ada dan altan merayakan ulang tahunnya

yang keseribu dalam waktu dekat.

Pendidikan non-formil untuk dewasa diberikan di mesjid. Mesjid

pada umumnya juga merupakan tempat kuliah di mana alim ulama

mengajarkan tafsir, hadis, bahkan juga bahasa dan sastra Arab.

Selain dari madrasah dan mesjid, perpustakaan juga merupakan

tempat mencari ilmu-pengetahuan. Perpustakaan-perpustakaan

didirikan oleh orang-orang kaya. Di dalamnya terkandung bukan hanya

buku-buku mengenai pengetahuan agama, tetapi juga pengetahuan nonagama

seperti falsafat, logika, astronomi, matematika dan ilmu-ilmu

pengetahuan lain. Khalifah dan Sultan biasanya mempunyai

perpustakaan khusus. Selanjutnya di mesjid-mesjid besar terdapat juga

perpustakaan-perpustakaan. Perpustakaan-perpustakaan ini dikunjungi

oleh orang-orang yang ingin mencari dan menambah pengetahuan,

terutama kaum ulama dan filosof. Perpustakaan-perpustakaan

dipergunakan juga sebagai tempat diskusi.

Hukum yang dipakai dalam mengatur masyarakat di zaman

Kerajaan-kerajaan Islam di masa lampau bukan hanya hukum fikih,

tetapi juga hukum sebagai diputuskan oleh Khalifah atau Sultan.

Hukum ini kemudian diberi nama iradah saniyah. Adapula hukum

yang dibuat oleh rapat Menteri dengan persetujuan Khalifah atau Sultan

dan ini disebut qanun.. Qanun mengurus soala-soal administrasi negara dan soal-soal

yang mempunyai corak politik seperti pemberontakan, soal pemalsuan

uang, pelanggaran hukum, dan sebagainya. Hukum dalam bentuk

putusan Khalifah mengurus pertikaian-pertikaian yang biasa timbul

setiap hari.

Qanun berkembang di zaman Kerajaan Usmani, terutama di

bawah Sulayman I, sehingga ia terkenal dengan nama Sulayman Al-

Qanuni.

Di zaman Nabi Muhammad kekuasaan legislatif, exekutif dan

judikatif terkumpul di tangan beliau. Beliaulah yang menentukan

hukum, beliaulah yang menjalankan pemerintahan dan beliau pula lah

yang melaksanakan hukum. Khalifah sebagai pengganti beliau,

bertugas selain dari menjalankan pemerintahan, juga melaksanakan

hukum. Pada mulanya Khalifah sendiri yang memutuskan perkaraperkara

yang timbul dalam masyarakat. Orang-orang yang mempunyai

perkara langsung pergi kepada Khalifah untuk mendapat penyelesaian.

Tetapi kemudian soal pelaksanaan hukum ini diserahkan kepada

wakil-wakil Khalifah. Pelaksanaan hukum Syari'ah diserahkan kepada

qadi dan pelaksanaan non-Syari'ah, seperti qanun kepada sahid alsyurtah

atau hajib.

Pada mulanya qadi terdapat hanya di kota-kota besar, tetapi

kemudian juga di kota-kota kecil. Bahkan di suatu kota terdapat

beberapa qadi. Sebagai kepala mereka diangkat qadi al-qudah.

Selanjutnya terdapat lagi apa yang disebut qadi alyund atau qadi al-

'askar yang mempunyai tugas menyelesaikan perkara-perkara di

lapangan militer. Di samping qadi, qadi al-qudah dan qadi al-'askar,

ada lagi nazir al-mazalim. Tugasnya sebagaimana dapat dilihat dari

namanya ialah menyelesaikan soal-soal perlakuan tidak adil atau

penganiayaan yang dijalankan oleh pejabat pemerintah terhadap rakyat,

umpamanya pajak terlalu tinggi, pensitaan harta dengan tidak sah dan

sebagainya. Nazir al-mazalim mempunyai kekuasaan yang lebih luas

dari qadi, dan yang bertindak sebagai nazir al-mazalim terkadang ialah

wasir sendiri, terkadang pegawai tinggi lainnya dan terkadang tugas itu

diserahkan kepada seorang yang diangkat khusus untuk itu.

Dalam penyelesaian perkara-perkara, kalau yang menyelesaikannya

ialah Khalifah. Sultan atau Wazir sendiri, maka untuk itu

diadakan hari tertentu setiap minggu di Istana; dan kalau yang

menyelesaikannya ialah qadi atau nazir mazalim, maka sidang

diadakan tiap hari. Sidangnya biasanya mengambil tempat dimesjid.

Untuk menjaga keamanan dalam kota dan sebagainya diadakan

lembaga kepolisian yang disebut syurtah. Kepalanya adalah sahib alsyurtah

dan terkadang disebut juga sahib al-mu'unah atau wali.

Tugasnya ialah mencegah timbulnya kejahatan-kejahatan kriminil,

memeriksa pelanggaran-pelanggaran hukum dan menghukum orang

yang bersalah. Hukum yang dipakainya dalam hal ini ialah hukum adat

setempat. Berlainan dengan qadi, sahib al-syurtah mempunyai wewenang

untuk mengadakan pemeriksaan di luar tempat sidang, umpamanya

untuk memeriksa kejahatan kriminil yang betul-betul terjadi atau yang

dilaporkan terjadi ataupun untuk memperoleh pengakuan dari tertuduh.

Sahib al-syurtah dapat bertindak hanya atas pengaduan dari yang

berkepentingan seperti pengaduan tentang pencurian perampasan,

penipuan, perzinahan dan sebagainya.

Di samping sahib al-syurtah terdapat seorang muhtasib yang

bertugas mengurus soal-soal pelanggaran hukum, yang bersifat lebih

ringan dan pelanggaran ajaran-ajaran moral. Yang termasuk dalam

bidang tugasnya adalah pelanggaranpelanggaran mengenai timbangan

dan ukuran, penipuan dalam penjualan, penolakan pembayaran hutang,

soal riba, pelanggaran tentang minuman keras, permainan judi dan

sebagainya. Dalam tugasnya termasuk juga soal pelaksanaan ibadat,

seperti pengadaan shalat Jum'at, orang yang tidak berpuasa di bulan

Ramadan, janda yang tidak memperdulikan waktu iddahnya dan

sebagainya. Juga termasuk dalam kekuasaannya soal kekejaman

terhadap pembantu rumah, dan binatang piaraan seperti kuda yang

kurang diberi makan tetapi diberi beban yang terlalu berat.

Di samping jabatan jabatan tersebut di atas masih ada lagi satu

jabatan yang diberi nama mufti. Ahli-ahli hukum Islam selalu mendapat

pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dari masyarakat. Jawaban yang

diberikan ahli hukum itu disebut fatwa dan yang memberi jawaban itu

sendiri disebut mufti. Ada mufti yang diangkat Khalifah atau Sultan dan

dengan demikian timbullah jabatan mufti yang resmi dalam negara.

Fatwa yang diberikan mufti inilah yang menjadi pegangan negara.

Dalam sistem pemerintahan Kerajaan Usmani mufti resmi itu diberi

gelar Syaikh Al-Islam. Kalau Syaikh Al-Islam mewakili Khalifah atau

Sultan dalam melaksanakan wewenang agamawinya, Sadr Al-A'zam.

Perdana Menteri, mewakili Kepala Negara dalam melaksanakan

wewenang duniawinya.

Lembaga yang erat hubungannya dengan urusan sosial dalam

Islam adalah wakaf. Wakaf mengandung arti penyerahan harta,

biasanya dalam bentuk tanah, gedong, rumah dan sebagainya, oleh

pemiliknya untuk keperluan-keperluan sosial seperti pembinaan dan

pemeliharaan madrasah, rumah sakit, jembatan, asrama, persediaan air

untuk umum dan sebagainya. Harta yang diwakafkan diurus oleh orang

atau yayasan yang ditunjuk oleh pemberi wakaf dan penghasilan harta

itulah yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan sosial tersebut di

atas. Sistem wakaf ini tersebar luas di iunia Islam di masa yang lampau

dan sampai sekarang masih terdapat di beberapa negara.

Administrasinya kemudian diambil oleh negara untuk itu diadakan

Wizarah Al-Awqaf (Kementerian Urusan Wakaf). Di Mesir Wizarah

Al-Awakaf inilah yang mengurus soal-soal mesjid, pembinaan serta

pemeliharaannya, termasuk dalamnya soal pengangkatan dan gaji

imam, muazzin dan pegawai mesjid lainnya. Universitas Azhar memperoleh keuangannya dari sistem wakaf ini, dan harta yang

diwakafkan untuk Al-Azhar sanggup memberi sumbangan keuangan

ataupun bea-siswa kepada para mahasiswa yang belajar di sana, dan

mengirim tenaga-tenaga pengajar ke negara-negara Islam lainnya atas

tanggungan Al-Azhar sendiri.

Untuk urusan kesehatan telah disebut di atas bahwa wakaf

dipergunakan dalam mendirikan dan membiayai pemeliharaan rumahrumah

sakit. Dari semenjak semula dalam sejarah Islam rumah rumah

sakit telah didirikan oleh berbagai Khalifah. Khalifah AlWalid (705 -

715 M) memberi perintah kepada gubernur-gubernurnya untuk

mendirikan rumah-rumah sakit di daerahnya. Bagdad di bawah Harun

Al-Rasyid (786 - 809 M) telah mempunyai rumah sakit dan demikian

pula Cairo, yang didirikan oleh Ibn Tulun pada tahun 872 M. Nama

yang dipakai untuk rumah sakit waktu itu ialah kata Persia bimaristan.

Rumah-rumah sakit mempunyai bahagian pria dan wanita.

Di antara rumah-rumah sakit itu ada yang mempunyai

perpustakaan sendiri dan ada pula yang memberikan kursus ilmu

kedokteran. Di rumah-rumah sakit Bagdad, dokter-dokter kepala dan

ahli-ahli bedah memberi kuliah kepada mahasiswa untuk kemudian

diuji dan diberi ijazah. Pelajaran diberikan bukan hanya dalam bentuk

teori saja tetapi juga dalam bentuk praktikum.

Al-Maristan Al-Mansuri di Cairo yang didirikan oleh Sultan

Mamluk Qalawun di tahun 1284 M, mempunyai gedung sekolah

kedokteran, mesjid, bagian-bagian untuk berbagai macam penyakit

seperti demam panas, disenteri dan sebagainya, laboratorium, apotek,

tempat mandi dan lain-lain. Penghasilan wakaf yang disediakan untuk

rumah sakit itu berjumlah satu juta dirham per tahun.

Di samping rumah-rumah sakit terdapat pula klinik-klinik yang

berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memberi pengobatan

kepada masyarakat.

Rumah-rumah sakit yang banyak terdapat di dunia Islam

mempunyai pengaruhnya, melalui Perang Salib, terhadap pembentukan

rumah-rumah sakit di Eropa. Ilmu kedokteran yang ada di dunia Islam

pada waktu itu lebih tinggi dari ilmu pengobatan yang dilakukan di

Eropa.